3 Alasan Rasional Mengapa Harga BBM Pertalite dan Solar Harus Naik
Di tengah perayaan kemerdekaan 17 Agustus rakyat Indonesia diramaikan isu kenaikan harga BBM jenis Pertalite, solar, dan LPG 3 kg. Sinyal kenaikan harga BBM ini, terutama Pertalite dan solar, sudah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri.
Sejumlah alasan mengemuka mengapa harga BBM harus naik. Namun, banyak kritik juga muncul jika harga BBM dinaikkan. Pro kontra tak terhindarkan.
Secara fakta, memang harga BBM di Indonesia tergolong rendah dibandingkan di sejumlah negara lain, apalagi negara-negara maju. Kebijakan politik anggaran berupa subsidi masih menjadi cara untuk menjaga dukungan politik dan keseimbangan elite.
Untuk kelompok pro kenaikan harga BBM, ini sejumlah alasan yang dikemukakan.
Pertama, harga minyak dunia tinggi.
Tingginya harga minyak dunia mendorong kenaikan biaya produksi BBM, beban subsidi, hingga nilai impor minyak. Indonesia memang memiliki lapangan migas namun beban pemakaian minyak di dalam negeri jauh lebih tinggi dari kemampuan produksi.
Indonesia pun menjadi negara net importir minyak sejak beberapa tahun lalu. Bahkan, Indonesia keluar dari OPEC --negara-negara produsen minyak-- karena kondisi yang tidak seimbang ini.
Indonesia Crude Price (ICP) masih tergolong tinggi, di atas 106 dolar AS per barel. Asumsi harga minyak pada APBN 2022 berada di level 90 dolar AS per barel.
Kenaikan harga minyak dunia memang seperti buah simalakama bagi Indonesia. Di satu sisi, Indonesia dapat berkah ekspor minyak dengan nilai tinggi, namun di sisi lain, menjadi beban subsidi dan harga BBM di dalam negeri.
Kedua, beban subsidi BBM membengkak.
Pada posisi ini Presiden Jokowi sudah menyatakan ada lompatan subsidi energi dari Rp 152 triliun menjadi Rp 502 triliun pada akhir Juli 2022 ini. Jika kuota 23 juta kiloliter (kl) Pertalite habis sebelum akhir 2022, maka kemungkinan ada pembengkakan subsidi hingga Rp 600 triliun.
Hingga Juli 2022, pemakaian Pertalite sudah nyaris menyentuh angka 17 juta kl. Stok subsidi tinggal 6 juta kl.
Pembengkakan beban subsidi ini membebani anggaran belanja negara. Defisit APBN bisa naik dan dampaknya cukup serius untuk sektor-sektor lain.
Menurut Pertamina, setiap 1 liter Biosolar yang dibeli masyarakat, pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 7.800. Nilai subsidi ini 150 persen atau 1,5 kali lebih tinggi dari harga yang dijual ke masyarakat sebesar Rp 5.150.
Pada setiap 1 liter Pertalite, pemerintah memberikan subsidi Rp 4.000 sampai Rp 4.500 per liter. Nilai subsidi ini juga lebih dari 50 persen atau setengah dari harga jual ke masyarakat yang sebesar Rp 7.650.
Ketiga, harga BBM di Indonesia dianggap berada di bawah nilai keekonomiannya.
Boleh dikatakan, harga BBM di Indonesia termasuk yang paling murah di Asia. Di bawah Indonesia memang ada Malaysia yang harga BBMnya relatif lebih rendah karena adanya perbedaan nilai subsidi.
Harga BBM tertinggi ada di Hong Kong dengam Rp 36.176 per liter. Lainnya, di Finlandia Rp 34.741 per liter, Jerman Rp 34.454 per liter, Italia Rp 34.510 per liter, Norwegia Rp 33.162 per liter, Belanda Rp 33.018 per liter, Yunani Rp 32.733 per liter, dan Portugal Rp 31.728 per liter.
Jadi, harga Pertamax misalnya sekitar Rp 12 ribuan, namun harga keekonomiannya masih di atas itu. Apalagi Pertalite. Harga keekonomiannya masih jauh di atas harga jual sekarang.
Tentu, isu kenaikan harga BBM ini menimbulkan pro kontra di masyarakat. Ada yang setuju, ada yang kontra. Beban hidup makin tinggi menjadi salah satu alasan utama penolakan atas isu kenaikan harga BBM ini.