Bidik Ekosistem Rumah, BTN Bangun Super App
Berkat digitalisasi, BTN pangkas proses persetujuan KPR hingga setengah dari waktu normal. Bukan hanya cepat dan mudah, juga komprehensif. One stop housing solution dari bank KPR terbesar di Indonesia.
Jika banyak jalan menuju Roma, maka ada banyak jalan menuju bank digital. Inilah cara bankir masa kini dalam merespon perubahan. Ada yang akuisisi bank kecil lalu dikonversi menjadi fully digital bank, ada juga yang mempertahankan bisnis model lama tapi membentuk sekoci baru untuk bertempur di bisnis bank digital. Di luar itu, ada yang menempuh rute transformasi digital di internal secara gradual, lalu meluncurkan super app.
Pola pertama tercermin di bank seperti Bank Neo Commerce (BBYB), Bank Bumi Arta (BNBA), Bank Jago (Arto), Bank Harda (Allo), Bank Ina (BINA) dan terakhir Bank Fama. Mereka bertransformasi secara radikal karena kedatangan investor anyar.
Sedangkan pola kedua ditempuh bank besar seperti BCA dengan Blu Digital, BRI Agro dengan Raya dan Bank BNI dengan Bank Mayora. Pola ketiga terlihat dari pergerakan Bank Mandiri, Bank Syariah Indonesia (BSI) dan Bank BTN.
Apapun pilihannya, pasti ada plus minus. Tapi, yang paling penting, apa manfaat digitalisasi itu sendiri, baik bagi konsumen, bank, para pelaku usaha lainnya, dan para pemegang saham selaku stakeholders utama perseroan.
“Digitalisasi harus bisa memberikan nilai tambah, bukan sekadar ada atau hanya ikutan tren. Dan paling penting harus bisa mendatangkan manfaat sebesar besarnya bagi nasabah,” kata Nixon LP Napitupulu, Wakil Direktur Utama BTN.
Nixon menjelaskan, digitalisasi yang dirancang BTN fokus pada bisnis inti perseroan, yakni perumahan. Maka itu, semua inovasi yang diciptakan harus ada relevansinya dengan sektor perumahan, properti dan industri pendukungnya.
“Kami harus mampu membangun ekosistem digital perumahan yang komprehensif. Aplikasi yang kami tawarkan harus bisa memenuhi kebutuhan nasabah secara end to end dengan mengoptimalkan teknologi,” katanya.
Andi Nirwoto, Direktur Teknologi Informasi BTN, menilai ekosistem digital perumahan membentang sangat luas. Mulai dari developer, aplikasi yang memfasilitasi jual beli rumah, pemasok aneka perabotan isi rumah, desain interior, jasa arsitektur hingga notaris dan aktuaris.
“Jauh sebelum ada digitalisasi, ekosistem ini sebenarnya sudah ada, sudah terbentuk dan saling terkoneksi dalam konteks non digital. Keterkaitan antara BTN dengan industri pendukung perumahan dan turunannya, sangat erat. Tugas kami adalah menciptakan teknologi yang dapat menghubungkan semuanya dalam satu aplikasi,” kata Andi.
Aplikasi yang dimaksud Andi adalah sebuah super App yang memampukan konsumen memenuhi semua kebutuhannya dalam satu genggaman, di mana saja dan kapan saja. Jadi, konsumen yang ingin beli rumah, cukup masuk ke super app BTN.
Mereka bisa meneliti rumah yang diincar, mulai dari kualitas bangunan, spesifikasi yang digunakan, bentuk interior sampai kondisi lingkungannya. Teknologi 4 D memungkinkan survey rumah berlangsung di dunia maya.
Setelah menemukan rumah idaman, konsumen bisa menggunakan “kalkulator KPR” untuk menghitung jumlah dana yang mesti disiapkan sekaligus mengukur kemampuan mengangsur.
Menariknya, aplikasi ini juga membantu konsumen mengestimasi dana tambahan, seperti biaya notaris, pajak jual beli, asuransi jiwa dan kerugian dan biaya lainnya. Konsumen jadi lebih siap dan tidak kagetan begitu ambil keputusan.
Setelah hitungan finansialnya cocok, selanjutnya konsumen bisa apply dokumen permohonan KPR lewat aplikasi. “Data data tersebut kemudian kami validasi. Jika semua dokumen lengkap, kami butuh waktu paling lama 21 jam untuk memberikan persetujuan. Ini memangkas waktu sekitar 50% dari proses normal. Sangat signifikan dampaknya,” kata Andi.
Sebelum adopsi teknologi, proses pengajuan KPR terbilang melelahkan. Apalagi untuk generasi muda yang sudah terbiasa memenuhi kebutuhan hidupnya semudah mengetik pesan di Whatsapp.
Dulu, debitur mesti alokasi waktu untuk survey rumah. Setelah merasa cocok, mereka datang ke kantor cabang bank, menyerahkan dokumen KPR. Petugas bank entry data, verifikasi, sampai dengan ke bagian persetujuan kredit. Jika dokumen tidak lengkap, bank menghubungi nasabah kembali dan begitu seterusnya.
Setelah dokumen lengkap, bank melakukan analisa kredit termasuk membandingkan harga rumah dengan kemampuan debitur dalam mengangsur. Dari sini keluar informasi uang muka yang mesti dibayarkan konsumen agar angsuran KPR seimbang dengan penghasilan. Termasuk biaya lain lain seperti asuransi jiwa dan kerugian yang mesti dibayar di muka. Konsumen yang tidak siap akan kaget dan cenderung menunda ambil KPR sampai menemukan solusi finansialnya.
“Teknologi meringkas semua proses ini. Nasabah happy karena mendapatkan kepastian, kemudahan dan kecepatan. Bank juga terbantu karena lebih efisien. Dan semua ini dilakukan dalam satu aplikasi,” kata Andi.
Meski serba digital, ada satu proses yang masih mengharuskan pertemuan tatap muka. Yakni saat ketemu notaris dan bank untuk akad KPR. “Kami masih mendiskusikan dengan teman teman notaris, apakah kedepannya cukup dilakukan lewat zoom dan tanda tangan KPR secara digital. Semoga nantinya bisa fully digital,” kata Andi.
Setelah akad KPR terwujud, fase berikutnya adalah memenuhi rumah dengan aneka perabot. Mulai dari beli sofa, meja makan, lemari, isi kamar, alat elektronik hingga jasa desain interior. Belum lagi renovasi rumah. Semua ini membutuhkan solusi finansial.
“Jadi circle dari bisnis pembiayaan rumah itu sangat luas. Potensi pembiayaannya luar biasa besar. Yang perlu kami segera lakukan adalah menyiapkan aplikasi yang mampu mengintegrasikan semuanya,” kata Andy.
Konsep BTN Digital ini patut diapresiasi. Di saat bank digital lain masih berjibaku meningkatkan jumlah nasabah, dan bingung menyalurkan pembiayaan (digital lending), BTN justru sudah punya pangsa pasar yang jelas. Target nasabahnya pun spesifik, dan produknya unik.
Catatan saja, rata rata plafon KPR bernilai ratusan juta hingga milyaran per nasabah dengan jangka waktu pinjaman sampai 25 tahun. Sementara itu, bank digital lain menyalurkan kredit lewat kemitraan fintech, yang plafon pembiayaannya terlampau kecil dengan jangka waktu sangat pendek, bahkan hitungan bulan.
Menurut Piter Abdullah, Ekonom CORE Indonesia, strategi mengembangkan bank digital secara bertahap memiliki keunggulan lebih sederhana proses eksekusinya dan lebih fokus pada pengembangan aplikasi.
Selain itu tidak membutuhkan biaya yang terlalu besar, dan mudah melakukan perubahan strategi bisnis. “Kelemahannya, persiapan tidak menyeluruh dan akan lebih lambat mengantisipasi perubahan dunia digital,” katanya.
Apapun pilihan strateginya, kata Piter, tujuan akhirnya sama yaitu memenangkan persaingan bank di era digital. “Bankir sangat menyadari bahwa bank digital itu adalah keniscayaan. Maka itu, persaingan bank di masa depan adalah persaingan bank digital. Untuk mengembangkan diri menjadi bank digital masing-masing bank akan menggunakan pendekatan yang berbeda, dengan tujuan akhir yang sama yaitu memenangkan kompetisi," katanya. (Elba Damhuri).
BACA JUGA: Tips Aman Transaksi dengan Mobile Banking Agar Hati Tenang
BACA JUGA: Mengapa Dana Pensiun Harus Kita Siapkan Sejak Muda dan Produktif?